Hai, Mantan, Apa Kabarnya?

May 04, 2020





Dikutip dari jalantikus.com
Suasananya sejuk, sekarang aku rindu kamu, batin Tiara. Wajah Bagaskara terlintas di benaknya. Pertengkaran itu telah memisahkan mereka. Salah paham yang tak pernah mampu ia jelaskan dengan baik.
Ah, Gas, andai aku bisa bertemu, mungkin aku akan menjelaskan semuanya kepada kamu. Kisah kita telah usai, tapi rasa bersalah ini menyesakkan dadaku. Tiara hanya termenung memandang langit biru dan hamparan rerumputan yang hijau.
Semilir angin ternyata tidak mampu menyejukkan hatinya. Jari jemarnya lincah menuliskan kisah demi kisah yang ingin dibagikan. Badannya menempel di sebuah pohon besar. Beberapa kali semut hitam besar mampir di kakinya, namun Tiara menepisnya dengan tangan. Jarinya tetap melanjutkan tulisan.
Langit tak lagi biru, awan hitam mulai tampak membayangi. Tiara bangkit dari tempat duduknya. Dengan sigap dia mencari kendaraan umum menuju jalan besar, kemudian diteruskan dengan menaiki ojeg online menuju rumahnya. Bukit ini adalah tempat favoritenya bersama Bagas. Mereka akan tenggelam dalam kegiatan masing-masing ketika berada di bukit ini. Bagas dengan lukisan dan Tiara dengan tulisan.
“Neng….ayo, neng….udah mau berangkat ini…..” teriak salah seorang pemuda. Tiara tersenyum lebar dan menganggukan kepalanya. Langkahnya dipercepat. Tidak lama kemudian, angkutan itu pun berangkat.
Hampir gelap ia tiba di rumahnya. Seorang pria separuh baya menantinya di ruang keluarga.
“Kamu darimana?” Langkahnya terhenti. “Tadi Bagas datang mencari kamu.”
Tiara terdiam, badannya mendadak kaku. Pria yang tengah dirindukannya datang? Kenapa tadi harus ke bukit? Mungkin kalau tidak ke bukit, dia pasti bertemu Bagas.
“Tadi….” Tiara tergagap dengan pertanyaan ayahnya. Namun, tidak membuatnya melangkah ke ruang keluarga dan duduk di sebelah ayahnya.
“Pasti kamu ke Bukit kan?”
“Iya, Yah.” Tiara hanya mampu menggenggam erat tas selempangnya.
“Bagas besok kembali. Mungkin sepulang kantor. Kamu masih cuti?”
“Tiara besok di rumah saja menunggu Bagas. Tiara mandi dulu, Yah.”
Dilangkahkannya kaki menuju kamar serba putih dengan konsep minimalis miliknya. Sesaat dia terduduk di depan meja kerjanya, yang berdampingan dengan lemari bukunya.
“Bagas….” Tiara terdiam sesaat mengenang nama itu. Kemudian dia memutuskan untuk membersihkan diri dan makan malam bersama ayah dan ibunya.
“Ayo, Ra, makan dulu. Ini ada rendang kesukaan kamu. Ibu masak khusus buat kamu.”
“Iya, Bu. Ibu nie tahu aja apa yang membangkitkan semangat Tiara.”
“Bagaimana liputan kemarin? Hampir dua bulan Ibu ditinggal, Ibu rindu kamu.”
“Ibu ini lah, kayak gak pernah menghubungi Tiara aja selama di pedalaman…” Tiara tergelak mendengar ucapan ibunya. “Perasaan Tiara, kemarin Ibu itu banyak banget pesannya. Makan gak boleh telat, jangan lupa vitamin, jangan banyak begadang, kopi dikurangi, banyak lagi.”
Ibunya hanya tersenyum mendengar protes putri semata wayangnya. “Tadi kata Ayah, Bagas datang ya? Udah lama gak kemari.”
“Iya, Tadi Ayah bilang. Oh ya, Bu, kemarin Tiara sempat liputan ke daerah pedalaman. Seru juga disana.” Tiara cerita pengalamannya tanpa henti. Ibu dan ayahnya hanya mendengarkan.
Setelah beberapa hari ini Tiara berkutat dengan laptop, demi dapat mengirim artikel tepat waktu, dan memilih untuk tidak bercengkrama dengan orangtuanya. Kini, dia tengah cuti, sehingga ini adalah masa dia membagi kisahnya selama bertugas pada kedua orangtuanya. Setiap kembali dari tugas buat liputan, Tiara selalu membagi kisahnya dengan kedua orangtuanya.
Malam ini terasa panjang bagi Tiara. Bagaskara, nama itu pernah mengisi hari-harinya dan menjadi inspirasi dari setiap cerita fiksi yang dia tulis. Pertengkaran terakhir membuat Bagas pergi tanpa kabar. Bahkan Tiara tidak tahu dia tengah bekerja dan tinggal dimana. Hingga akhirnya Tiara terlelap menjelang Subuh. Syukurnya, dia tidak harus menunaikan kewajibannya, sehingga dia mampu memanjakan rasa kantuknya.
Matahari sudah sangat tinggi, niatnya untuk jalan pagi pun pupus. Akhirnya dilangkahkan kakinya ke dapur dan membantu ibunya yang tengah menyiapkan masakan. Tiara membantunya sambil bercanda ringan. Ibunya adalah sosok yang lembut, berbeda dengan ayahnya yang kaku. Namun, keduanya saling melengkapi. Sebagai anak tunggal, dia tidak pernah manja, karena ayahnya sangat tegas dalam mendidiknya.
Sore menjelang, Tiara hampir lupa bahwa Bagas akan mampir ke rumahnya. Setelah selesai mandi, Tiara duduk di ruang makan, yang tidak jauh dari ruang keluarga. Laptop mungil itu menjadi temannya menghapus sepi. Ayah dan ibunya tengah keluar, sehingga dia sendirian di rumah. Suara berat dari ruang tamu menganggu konsentrasinya. Langkahnya ringan menuju ruang tamu.
Tiara terperangah melihat pria tinggi tegap di hadapannya. Penampilannya sungguh jauh berbeda. Terakhir kali bertemu, celana jeans dan kaus oblong masih menjadi pakaian kebangsaan, kini pakaiannya jauh lebih resmi, dengan kemeja biru muda dan celana kain berwarna hitam, lengkap dengan jas hitamnya. Tiara terdiam memandangi pria tinggi putih di depannya.
“Aku gak boleh masuk?” Pertanyaan Bagas, membuat Tiara tersadar dan tertawa.
“Ayo, Gas. Masuk.” Tiara melipir ke tembok, agar Bagas bisa masuk.
“Aku ambilkan minuman dulu ya.” Tiara segera kembali ke hadapan Bagas.
“Ayah dan Ibu kamu kemana?” Bagas mengeraskan suaranya agar Tiara yang berada di dapur, dapat mendengarkan suaranya.
“Ayah dan Ibu ke rumah temannya ayah. Temannya kebetulan baru menyelesaikan tugasnya di luar negeri, jadi sekalian reuni kecil-kecilan. Kamu apa kabar, Gas?” Tiara menyodorkan minuman dingin ke hadapan Bagas.
“Baik….Kamu sendiri bagaimana kabarnya?” Bagas menyambut dan langsung meneguk minuman tersebut.
“Baik. Kamu dimana sekarang?”
“Aku bekerja di advertising. Kamu masih jadi jurnalis?”
“Kok kamu tahu?” Tiara terperangah, karena mereka berpisah ketika masing-masing masih kuliah.
“Tahu darimana?” Tiara mengulang pertanyaannya sembari menyerahkan segelas minuman dingin. Bagas menyambutnya dengan tersenyum, tanpa menjawab.
“Keren banget kamu. Apa begini kalau kerja ya?” Tiara mengalihkan pembicaraan.
“Ini karena ketemu client. Mungkin kalau sehari-hari, yah kemeja dan celana jeans aja. Kebetulan perusahaan besar. Kamu gak ngantor?” Bagas mengejar kembali pertanyaannya. Memuaskan rasa ingin tahunya.
“Aku cuti. Kemarin kerjanya cukup panjang, jadi mereka mengizinkan aku mengambil jatah cuti.” Tiara merasa tenang, karena sikap Bagas masih seperti Bagas yang dikenalnya dahulu.
“Ke pedalaman itu ya?” Pertanyaan Bagas membuat Tiara terkejut.
“Tulisan kamu selalu aku ikuti. Kemarin Ayah kamu cerita banyak tentang perjalanan kamu. Aku bahagia melihat kamu sekarang sangat bahagia.” Bagas menatap lantai, menenangkan segala rasa yang berkecamuk di hatinya.
“Oh…..pantes kamu tahu aku jurnalis. Aku gak betah belakang meja seperti kamu, Gas. Yah, aku bisa menjadi diri sendiri sekarang. Tanpa make up ataupun baju bagus. Bisa menikmati alam dengan jalan kaki. Banyak hal yang bisa dinikmati, walau sederhana.” Tiara menatap langit-langit ruang tamu, membayangkan setiap jengkal perjalanannya.
Bagas tersenyum melihat gadis yang pernah mengisi hidupnya itu kini telah menemukan apa yang dia inginkan. Tiara tetap gadis sederhana, walau berasal dari keluarga berada. Sejak dahulu, dia tidak segan diajak makan di pinggir jalan sekalipun. Tidak banyak yang berubah dari dirinya.
“Hei….melamun….bagaimana ceritanya kamu bisa kerja di perusahaan kamu sekarang, Gas?”
Pembicaraan terus mengalir, seolah mereka tak pernah berpisah. Bahkan tak ada seorangpun dari mereka yang mengungkit masa lalu yang menyakitkan. Tawa canda tetap hadir. Bagas yang easy going mampu mencairkan suasana. Tanpa disadari, hari sudah sangat larut, orangtua Tiara juga sudah kembali. Suara derum knalpot mobil terdengar.
“Astaga…aku gak sadar sudah hampir jam sebelas.” Bagas spontan melihat arlojinya, ketika mendengar suara mobil orangtua Tiara.
“Iya….gak apa-apa….udah lama juga gak ketemu.” Tiara menatap jam dinding yang berada di ruang makan.
“Eh, nak Bagas. Sudah lama?” Ibunya menyambut dengan hangat.
“Lumayan, Bu. Saya mau pamit dulu. Sudah kemalaman.” Bagas menyodorkan tangan, hendak mencium tangan orangtua Tiara.
“Iya, gak masalah, Tiara ada temannya.” Ibu dan ayahnya menyambut dengan hangat. “Ibu masuk duluan ya. Mau bersih-bersih.” Bagas menganggukkan kepalanya dengan sopan.
Tiara yang sedari tadi mematung di sebelah ibunya, hanya tersenyum.
“Ra, besok kamu masih cuti? Aku ada tempat bagus buat nulis. Ikut yuk.” Tiara menganggukkan kepalanya. “Besok aku kabari ya.” Bagas pun berlalu.
Hari demi hari berjalan. Kedekatan mereka kembali terajut. Tiara dan Bagas layaknya anak remaja yang tengah dimabuk cinta.
“Kamu pacaran lagi sama Bagas?” Ibunya mengantarkan secangkir kopi untuk Tiara di ruang tamu.
“Apaan sih, Bu? Bagas itu temenku sekarang, masa kebersamaan kami sudah lewat.” Tiara menjawab sekenanya. Matanya menatap layar laptop.
“Iya, tapi dulu kan pernah pacaran.” Ibunya duduk tidak jauh dari Tiara.
“Gak, Bu, kami hanya berteman.” Tiara tersenyum ke arah ibunya.
“Bagas juga sama? Bukan ingin mengulang kisah lama?” Kecemasan tampak dari nada ibunya.
“Yah…. Iya lah, Bu….” Tiara tampak ragu menjawab pertanyaan ibunya.
“Kamu harus pastikan. Jangan-jangan niat kalian berbeda.” Ibunya bangkit. Nadanya penuh dengan penekanan.
Tiara terdiam. Pikirannya berkecamuk, apakah Bagas benar-benar tengah berharap? Atau hanya ingin berteman? Apa yang sebenarnya mereka jalani?
Perasaan yang tenang itu kembali gelisah. Segala kenangan masa lalu kembali terhampar di ingatannya. Tulisan di hadapannya kini terasa tidak menarik. Kebahagiaan mereka terakhir, ketika masih bersama, kembali terbayang.
Gas, apakah hati ini masih milikmu? Tiara menutup laptopnya dan memilih untuk mandi.
Seusai mandi, diambilnya album semasa kuliah yang telah tersimpan rapi di rak bawah tempat tidurnya. Dibukanya secara perlahan. Foto kenangan itu menghadirkan keceriaan, sama seperti beberapa hari ini. Hingga akhirnya dia tiba di sebuah foto mereka ketika berada di bukit, foto terakhir mereka.
Dikutip dari haneunurhanifah.wordpress.com
Ini kenangan terakhir kita, Gas. Salah paham itu tak pernah terpecahkan. Apakah hati kita masih sama seperti dahulu? Tiara masih memandang foto terakhir mereka.
Ketukan halus dan suara berat di ruang tamu menghentikan lamunannya. Tanpa perlu dilihat, Tiara sudah tahu, itu suara Bagas. Hampir setiap hari, dia hadir di rumah Tiara.
“Ra…” Bagas menyapa ramah Tiara yang baru saja keluar dari kamarnya. Tiara hanya tersenyum kecil.
“Kamu kenapa?” Bagas memandangi wajahnya.
“Gak papa, Gas. Kita jadi makan di rooftop?” Tiara mengambil tas selempang yang biasa ia pakai untuk menulis. Laptop mungil itu tak lupa dibawa serta. “Aku boleh nulis disana ya.”
“Ya iyalah, kan kita biasa mencari spot buat berkarya.” Bagas berdiri berhadapan dengan Tiara. “Tapi aku ganti baju dulu ya. Gak nyaman.”
“Iya, itu kamar mandinya.” Tiara menunjuk ke pintu yang bersebelahan dengan lemari hias milik ibunya.
Iya, Gas, dulu kita biasa mencari spot untuk berkarya. Tapi dulu, Gas, Tiara hanya membatin perih.
“Hei, malah melamun. Yuk, berangkat.” Kehadiran Bagas dari belakang menghentikan lamunannya.
Setelah pamit dengan kedua orangtuanya, mereka pun pergi ke tempat makan yang dituju. Sebuah meja dengan empat kursi menjadi pilihan bersama. Suasana terbuka dan sepi menjadi alasan memilih tempat tersebut.
Dikutip dari food.detik.com
Kini mereka duduk di sebuah meja segiempat dengan payung di tengah meja. Empat kursi tersusun rapi, masing-masing tersusun dua buah. Lembutnya angin menyentuh kulit Tiara. Kini mereka bersentuhan langsung dengan alam. Sesuatu yang dahulu sangat dinikmati.
Tiara memandang wajah kota dari ketinggian, “Indah banget.”
Bagas tersenyum menatap wanita yang ada di hadapannya. “Ternyata masih suka mojok.”
“Iya lah….” Tiara tertawa mendengar gumaman Bagas, yang disambut Bagas dengan tawa.
Dering ponsel menganggu syahdunya mereka dalam menikmati suasana romantis yang tercipta. Wisnu, nama yang tertera di ponsel Tiara. Tiara tergagap. Namun, dering itu terhenti.
“Siapa, Ra?” Bagas memandangi wajah wanita yang tengah ada di hadapannya.
“Wisnu, pacarku.” Tiara menyeruput minuman hangat yang ada di hadapnnya.
“Kenapa gak dijawab?” Bagas tidak mengubah posisinya sedikitpun. Tangannya tetap bersidekap di atas meja. Tatapannya tetap tenang.
“Nanti dihubungi aja. Lagian, masih pagi disana. Dia lagi tugas keluar negeri.” Tiara tersenyum kepada Bagas.
“Pria yang beruntung, Ra. Sejak kapan?”
“Dia atasanku di kantor sekarang. Bahkan, dia pemiliknya. Aku gak tahu ada apa dengannya, karena selalu menantang dengan tugas yang bukan ‘aku’ banget. Awalnya sih protes, tapi dia selalu bilang, ‘aku yakin kamu bisa’. Huft…..awal-awal menjalani tugas yang ada selalu merasa tidak mampu dan selalu menolak. Tapi dia atasan terbaikku. Gak pernak menerima penolakan. Dia selalu menyediakan solusi buatku, yaitu teman seperjalanan.” Tiara memalingkan wajahnya, dipandangnya suasana kota yang tampak meriah dengan lampu.
“Dia selalu bilang, ‘kamu pasti bisa’. Keyakinan dia yang merubah aku yang ada di hadapanmu. Kini, aku bisa kesana kemari sendirian.” Kedua telapak tangannya terbuka, diimbangi dengan senyuman lebar.
“Tampaknya Wisnu paham kemampuan kamu. Bahkan lebih baik daripada diri kamu, Ra.” Bagas menatapnya lekat. Tiara hanya menaikkan bahunya sembari menyeruput coklat hangat yang ada di hadapannya.
Mereka terdiam sejenak, ketika pelayan mengantarkan dua piring nasi goreng sosis. Makanan khas mereka yang menyatukan mereka ketika masih berada di bangku sekolah.
“Nasi goreng sosis……,” ucap mereka bersamaan, disusul dengan tawa lepas.
“Masih sama kesukaan kamu,” Bagas bergumam kecil, namun terdengar oleh Tiara.
“Yah iya lah, kan gak semua harus diubah.” Tiara menyuapkan nasi goreng, sembari menatap Bagas. “Lalu, kamu bagaimana?”
Bagas menatap Tiara dan tersenyum.
“Gas, itu cincin tunangan ya?” Bagas tersenyum menatap Tiara. Gadis itu tak pernah berubah, selalu ceplas ceplos.
“Iya, namanya Vania. Kami bertemu ketika aku melukis di atap kantor. Dia bekerja di perusahaan yang berbeda, tapi masih di gedung yang sama. Vania memiliki pola hidup yang berbeda denganku. Hidupnya sangat teratur. Dia adalah seorang gadis yang mengubah hidupku menjadi lebih baik. Bahkan, dia mengajari aku menyusun target kehidupan.”
Bagas merogoh ke dalam tas ranselnya. Dikeluarkannya amplop besar berwarna merah, lengkap dengan plastik bening di luarnya membungkus. Ukiran huruf  V dan B terukir di depan amplop merah tersebut.
“Ini undanganku. Kami akan menikah dua minggu lagi.” Tiara menghentikan suapannya. Tangan yang siap menyuapkan nasi ke dalam mulut pun terhenti.
“Kok baru sekarang?” Tiara hampir berteriak dan dengan sigap menarik undangannya. Dibukanya undangan tersebut dengan perlahan.
“Kamu ya…selalu penuh kejutan. Kenapa sih gak dari kemarin bilang? Kan aku bisa bantuin kamu? Udah kemana aja? Temen kuliah kita sudah? Aku masih ada kontak Dito, Gas. Aku bantu nanti.” Hatinya bergejolak, kini yang ada bahagia campur lega.
“Ra…Ra….Ra…,” Bagas menyentuk jemari Tiara, menahan gadis itu berceloteh lebih panjang. “Aku menyerahkan semuanya ke wedding organizer. Khusus buat kamu, aku minta kepada Vania agar aku sendiri yang menyerahkannya.”
“Wah….aku bahagia banget bacanya.” Didekapnya undangan merah itu, senyuman lebar tak lepas dari wajahnya.
Bagas menyerahkan coklat hangat Tiara, “Minum dulu, kamu belum minum.”
Tiara tertawa, ketika sadar dia belum minum sejak melihat undangan Bagas.
“Vania emang gak cemburu kita jalan begini?” Tiara tersadar akan perjalanannya selama ini.
“Yah gak lah, kan aku sudah minta izin. Wisnu sendiri bagaimana?” Kali ini Bagas sembari menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
“Yah tahu lah. Tapi yah gitu, nasib LDR, waktu juga berbeda. Harus sabar.” Tiara kembali menyuapkan nasi yang tak sempat dimasukkannya ke mulut tadi. “Dia itu punya obsesi sendiri. Sudah hampir setahun dia disana, bulan depan dia kembali ke Indonesia.”
“Nikahnya kapan?” Bagas sudah tampak santai. Obrolan pun mengalir.
“Tahun depan katanya. Bagus juga sih, masih ada daerah-daerah pedalaman yang ingin aku kunjungi.” Tiara tersenyum lebar membayangkan perjalanannya.
“Dasar kamu tuh, jiwa petualang yang gak bisa dibendung.”
“Wisnu juga sama loh. Di Amerika saja dia bertualang dengan teman-temannya.” Tiara mendadak menghentikan suapannya. “Teringatnya, kenapa dari kemarin kamu gak cerita?”
“Ra, kita itu lama gak ketemu. Pisahnya juga gak enak. Yah, begitu ketemu, masa langsung ngasi undangan. Dijamin deh kamu gak bakal datang.”
“Ya ampun, Gas, kemarin aku ke Bukit, disana sempat mikirin perpisahan kita. Aku malah khawatir kamu belum maafin aku. Nanti, kado pernikahanku kurang dong.”
“Sialan kamu…” Bagas melemparkan selembar tissue yang tergeletak di hadapannya.
Suasana riang kembali hadir. Mungkin kisah mereka telah usai. Rasa berslaah juga telah hilang dari hati. Kini, cinta sebagai sepasang kekasih telah berganti menjadi cinta sepasang sahabat.

2 comments:

Powered by Blogger.