Aku dan Literasi

March 20, 2019

Menulis adalah media mengenal diri sendiri

Sebagai seseorang yang introvert, kesulitan terbesar saya adalah mengekspresikan apa yang dirasa ataupun dipikirkan. Sejak Sekolah Menengah Pertama, menulis menjadi media mengungkapkan segala yang dirasa. Walaupun pada akhirnya, tidak ada satupun tulisan saya yang terpublikasi, sekalipun ada teman yang ingin membantu saya mengirimkan tulisan saya. Karena kebetulan, saya tertarik dengan dunia fiksi sejak sekolah.

Beberapa teman sering mengatakan saya pengkhayal yang baik. Dulu, saya sering mencari cara menghilangkannya. Namun, sekarang saya paham, mungkin itu cara Tuhan menyampaikan pesanNya. Melalui perkataan seorang sahabat, beberapa saat lalu, saya memutuskan untuk serius belajar menulis, yang diawali dengan mengikuti kelas belajar menulis novel. Rada rumit buat saya, tapi saya menikmatinya.

Setelah selesai dengan kelas yang disediakan, saya memutuskan untuk mengikuti komunitas online yang diasuh oleh teman saya. Tugasnya adalah menulis, tapi menulisnya bukan di kelas, tapi di media sosial. Akhirnya, apa yang saya takutkan pun terjadi, menulis di media umum. Ini adalah momok yang harus saya hadapi. Mendadak semuanya jadi buntu, tidak tahu harus menulis apa. Alhamdulillah, teman saya tidak pernah berhenti mendorong saya dengan segala kalimat bijaknya.

Keberanian muncul, saya mulai menulis dengan segala keterbatasan. Banyak hal yang saya pelajari ketika menulis. Kesalahan demi kesalahan menjadi pembelajaran buat saya. Dunia menulis yang mungkin buat beberapa orang hanya hal biasa, mendadak menjadi hal yang sangat menarik buat saya. Semakin belajar, semakin saya paham bahwa banyak hal yang belum saya ketahui.

Emosi terkadang ikut larut dalam tulisan. Dan, pada saat mengikuti kelas mbak Jee Luvina, beliau pernah mengajarkan, untuk mengendapkan dahulu tulisan kita seharian (minimal) sebelum di-edit. Tujuannya agar hal-hal yang tidak baik untuk dibagikan, tidak kita bagikan. Menurut beliau, emosi ketika menulis itu wajib, namun terkadang kita terlalu terlarut, sehingga hal-hal yang tidak baik juga turut dibagikan.

Pertanyaan demi pertanyaan seolah terjawab ketika mengikuti setiap kelas yang ada. Bahkan pernah muncul kekhawatiran jika tulisan hanya akan menjadi ‘sampah’ dan tidak berguna. Kekhawatiran ini terjawab dengan baik oleh mbak Ernawatiwilys dan kak Desy Zulfiani dari Blogger Sumut. Mereka mengatakan bahwa tidak ada tulisan yang tidak berguna, semua tulisan pasti ada manfaatnya.

Pede setelah itu? Gak juga. Tantangan pasti akan tetap ada dalam melakukan sesuatu. Kekhawatiran yang sebelumnya mampir tetap muncul ke permukaan sesekali. Hingga semuanya terjawab dengan manis oleh mas Dharmawan Adji. Beliau mengatakan bahwa hakikat menulis adalah untuk mengikat ilmu, jangan lakukan untuk orang lain. Keteplak….Kalimat ini jelas tamparan luar biasa buat saya. 

Dunia ini benar-benar menarik buat saya. Sebuah dunia yang mengajarkan saya akan banyak hal. Seperti yang dikatakan oleh Tere Liye, untuk menuliskan satu paragraph, kamu harus membaca satu buku. Pernah kebayang gak, bagaimana jika menulis satu artikel yang terdiri dari beberapa paragraph? Berapa banyak buku yang akan dibaca?

Sahabat saya pernah berkata, banyak membaca akan membuatmu memahami sesuatu dari banyak hal, dari berbagai dimensi. Dia benar akan hal ini.  Saya jadi mampu melihat berbagai hal dalam perspektif yang berbeda. Tulisan mampu memecahkan yang bersatu, namun juga menyatukan yang berbeda. Melalui dunia ini, saya diajarkan akan banyak hal.

“Hayati yang kamu jalani, temukan maknanya, maka kamu akan mengerti jalan Tuhan.” Ini adalah nasihat seseorang untuk saya. Diantara ketidakpahaman dan keterbatasan diri, saya mencari makna nasihat ini.

No comments:

Powered by Blogger.