Hai, Mantan, Apa Kabarnya?
Suasananya sejuk, sekarang
aku rindu kamu, batin
Tiara. Wajah Bagaskara terlintas di benaknya. Pertengkaran itu telah memisahkan
mereka. Salah paham yang tak pernah mampu ia jelaskan dengan baik.
Ah, Gas, andai aku bisa
bertemu, mungkin aku akan menjelaskan semuanya kepada kamu. Kisah kita telah
usai, tapi rasa bersalah ini menyesakkan dadaku. Tiara hanya termenung memandang langit biru dan
hamparan rerumputan yang hijau.
Semilir angin ternyata tidak mampu menyejukkan
hatinya. Jari jemarnya lincah menuliskan kisah demi kisah yang ingin dibagikan.
Badannya menempel di sebuah pohon besar. Beberapa kali semut hitam besar mampir
di kakinya, namun Tiara menepisnya dengan tangan. Jarinya tetap melanjutkan
tulisan.
Langit tak lagi biru, awan hitam mulai tampak membayangi.
Tiara bangkit dari tempat duduknya. Dengan sigap dia mencari kendaraan umum
menuju jalan besar, kemudian diteruskan dengan menaiki ojeg online menuju rumahnya. Bukit ini adalah
tempat favoritenya bersama Bagas.
Mereka akan tenggelam dalam kegiatan masing-masing ketika berada di bukit ini.
Bagas dengan lukisan dan Tiara dengan tulisan.
“Neng….ayo, neng….udah mau berangkat ini…..” teriak
salah seorang pemuda. Tiara tersenyum lebar dan menganggukan kepalanya.
Langkahnya dipercepat. Tidak lama kemudian, angkutan itu pun berangkat.
Hampir gelap ia tiba di rumahnya. Seorang pria separuh
baya menantinya di ruang keluarga.
“Kamu darimana?” Langkahnya terhenti. “Tadi Bagas
datang mencari kamu.”
Tiara terdiam, badannya mendadak kaku. Pria yang
tengah dirindukannya datang? Kenapa tadi harus ke bukit? Mungkin kalau tidak ke
bukit, dia pasti bertemu Bagas.
“Tadi….” Tiara tergagap dengan pertanyaan ayahnya.
Namun, tidak membuatnya melangkah ke ruang keluarga dan duduk di sebelah
ayahnya.
“Pasti kamu ke Bukit kan?”
“Iya, Yah.” Tiara hanya mampu menggenggam erat tas
selempangnya.
“Bagas besok kembali. Mungkin sepulang kantor. Kamu
masih cuti?”
“Tiara besok di rumah saja menunggu Bagas. Tiara mandi
dulu, Yah.”
Dilangkahkannya kaki menuju kamar serba putih dengan
konsep minimalis miliknya. Sesaat dia terduduk di depan meja kerjanya, yang
berdampingan dengan lemari bukunya.
“Bagas….” Tiara terdiam sesaat mengenang nama itu.
Kemudian dia memutuskan untuk membersihkan diri dan makan malam bersama ayah
dan ibunya.
“Ayo, Ra, makan dulu. Ini ada rendang kesukaan kamu.
Ibu masak khusus buat kamu.”
“Iya, Bu. Ibu nie tahu aja apa yang membangkitkan
semangat Tiara.”
“Bagaimana liputan kemarin? Hampir dua bulan Ibu ditinggal, Ibu rindu kamu.”
“Ibu ini lah, kayak gak pernah menghubungi Tiara aja
selama di pedalaman…” Tiara tergelak mendengar ucapan ibunya. “Perasaan Tiara, kemarin Ibu itu banyak banget pesannya. Makan gak boleh telat, jangan lupa vitamin,
jangan banyak begadang, kopi dikurangi, banyak lagi.”
Ibunya hanya tersenyum mendengar protes putri semata
wayangnya. “Tadi kata Ayah, Bagas datang ya? Udah lama gak kemari.”
“Iya, Tadi Ayah bilang. Oh ya, Bu, kemarin Tiara
sempat liputan ke daerah pedalaman. Seru juga disana.” Tiara cerita
pengalamannya tanpa henti. Ibu dan ayahnya hanya mendengarkan.
Setelah beberapa hari ini Tiara berkutat dengan
laptop, demi dapat mengirim artikel tepat waktu, dan memilih untuk tidak
bercengkrama dengan orangtuanya. Kini, dia tengah cuti, sehingga ini adalah
masa dia membagi kisahnya selama bertugas pada kedua orangtuanya. Setiap
kembali dari tugas buat liputan, Tiara selalu membagi kisahnya dengan kedua
orangtuanya.
Malam ini terasa panjang bagi Tiara. Bagaskara, nama
itu pernah mengisi hari-harinya dan menjadi inspirasi dari setiap cerita fiksi yang
dia tulis. Pertengkaran terakhir membuat Bagas pergi tanpa kabar. Bahkan Tiara
tidak tahu dia tengah bekerja dan tinggal dimana. Hingga akhirnya Tiara
terlelap menjelang Subuh. Syukurnya, dia tidak harus menunaikan kewajibannya,
sehingga dia mampu memanjakan rasa kantuknya.
Matahari sudah sangat tinggi, niatnya untuk jalan pagi
pun pupus. Akhirnya dilangkahkan kakinya ke dapur dan membantu ibunya yang
tengah menyiapkan masakan. Tiara membantunya sambil bercanda ringan. Ibunya
adalah sosok yang lembut, berbeda dengan ayahnya yang kaku. Namun, keduanya
saling melengkapi. Sebagai anak tunggal, dia tidak pernah manja, karena ayahnya
sangat tegas dalam mendidiknya.
Sore menjelang, Tiara hampir lupa bahwa Bagas akan
mampir ke rumahnya. Setelah selesai mandi, Tiara duduk di ruang makan, yang
tidak jauh dari ruang keluarga. Laptop mungil itu menjadi temannya menghapus
sepi. Ayah dan ibunya tengah keluar, sehingga dia sendirian di rumah. Suara
berat dari ruang tamu menganggu konsentrasinya. Langkahnya ringan menuju ruang
tamu.
Tiara terperangah melihat pria tinggi tegap di hadapannya.
Penampilannya sungguh jauh berbeda. Terakhir kali bertemu, celana jeans dan
kaus oblong masih menjadi pakaian kebangsaan, kini pakaiannya jauh lebih resmi,
dengan kemeja biru muda dan celana kain berwarna hitam, lengkap dengan jas
hitamnya. Tiara terdiam memandangi pria tinggi putih di depannya.
“Aku gak boleh masuk?” Pertanyaan Bagas, membuat Tiara
tersadar dan tertawa.
“Ayo, Gas. Masuk.” Tiara melipir ke tembok, agar Bagas
bisa masuk.
“Aku ambilkan minuman dulu ya.” Tiara segera kembali
ke hadapan Bagas.
“Ayah dan Ibu kamu kemana?” Bagas mengeraskan suaranya
agar Tiara yang berada di dapur, dapat mendengarkan suaranya.
“Ayah dan Ibu ke rumah temannya ayah. Temannya
kebetulan baru menyelesaikan tugasnya di luar negeri, jadi sekalian reuni
kecil-kecilan. Kamu apa kabar, Gas?” Tiara menyodorkan minuman dingin ke
hadapan Bagas.
“Baik….Kamu sendiri bagaimana kabarnya?” Bagas
menyambut dan langsung meneguk minuman tersebut.
“Baik. Kamu dimana sekarang?”
“Aku bekerja di advertising.
Kamu masih jadi jurnalis?”
“Kok kamu tahu?” Tiara terperangah, karena mereka
berpisah ketika masing-masing masih kuliah.
“Tahu darimana?” Tiara mengulang pertanyaannya sembari
menyerahkan segelas minuman dingin. Bagas menyambutnya dengan tersenyum, tanpa
menjawab.
“Keren banget kamu. Apa begini kalau kerja ya?” Tiara
mengalihkan pembicaraan.
“Ini karena ketemu client.
Mungkin kalau sehari-hari, yah kemeja dan celana jeans aja. Kebetulan
perusahaan besar. Kamu gak ngantor?”
Bagas mengejar kembali pertanyaannya. Memuaskan rasa ingin tahunya.
“Aku cuti. Kemarin kerjanya cukup panjang, jadi mereka
mengizinkan aku mengambil jatah cuti.” Tiara merasa tenang, karena sikap Bagas
masih seperti Bagas yang dikenalnya dahulu.
“Ke pedalaman itu ya?” Pertanyaan Bagas membuat Tiara
terkejut.
“Tulisan kamu selalu aku ikuti. Kemarin Ayah kamu
cerita banyak tentang perjalanan kamu. Aku bahagia melihat kamu sekarang sangat
bahagia.” Bagas menatap lantai, menenangkan segala rasa yang berkecamuk di
hatinya.
“Oh…..pantes kamu tahu aku jurnalis. Aku gak betah
belakang meja seperti kamu, Gas. Yah, aku bisa menjadi diri sendiri sekarang.
Tanpa make up ataupun baju bagus.
Bisa menikmati alam dengan jalan kaki. Banyak hal yang bisa dinikmati, walau
sederhana.” Tiara menatap langit-langit ruang tamu, membayangkan setiap jengkal
perjalanannya.
Bagas tersenyum melihat gadis yang pernah mengisi
hidupnya itu kini telah menemukan apa yang dia inginkan. Tiara tetap gadis
sederhana, walau berasal dari keluarga berada. Sejak dahulu, dia tidak segan
diajak makan di pinggir jalan sekalipun. Tidak banyak yang berubah dari
dirinya.
“Hei….melamun….bagaimana ceritanya kamu bisa kerja di
perusahaan kamu sekarang, Gas?”
Pembicaraan terus mengalir, seolah mereka tak pernah berpisah. Bahkan tak ada seorangpun dari mereka yang mengungkit masa lalu yang
menyakitkan. Tawa canda tetap hadir. Bagas yang easy going mampu mencairkan suasana. Tanpa disadari, hari sudah
sangat larut, orangtua Tiara juga sudah kembali. Suara derum knalpot mobil
terdengar.
“Astaga…aku gak sadar sudah hampir jam sebelas.” Bagas
spontan melihat arlojinya, ketika mendengar suara mobil orangtua Tiara.
“Iya….gak apa-apa….udah lama juga gak ketemu.” Tiara
menatap jam dinding yang berada di ruang makan.
“Eh, nak Bagas. Sudah lama?” Ibunya menyambut dengan
hangat.
“Lumayan, Bu. Saya mau pamit dulu. Sudah kemalaman.”
Bagas menyodorkan tangan, hendak mencium tangan orangtua Tiara.
“Iya, gak masalah, Tiara ada temannya.” Ibu dan
ayahnya menyambut dengan hangat. “Ibu masuk duluan ya. Mau bersih-bersih.”
Bagas menganggukkan kepalanya dengan sopan.
Tiara yang sedari tadi mematung di sebelah ibunya,
hanya tersenyum.
“Ra, besok kamu masih cuti? Aku ada tempat bagus buat
nulis. Ikut yuk.” Tiara menganggukkan kepalanya. “Besok aku kabari ya.” Bagas
pun berlalu.
Hari demi hari berjalan. Kedekatan mereka kembali
terajut. Tiara dan Bagas layaknya anak remaja yang tengah dimabuk cinta.
“Kamu pacaran lagi sama Bagas?” Ibunya mengantarkan
secangkir kopi untuk Tiara di ruang tamu.
“Apaan sih, Bu? Bagas itu temenku sekarang, masa
kebersamaan kami sudah lewat.” Tiara menjawab sekenanya. Matanya menatap layar
laptop.
“Iya, tapi dulu kan pernah pacaran.” Ibunya duduk
tidak jauh dari Tiara.
“Gak, Bu, kami hanya berteman.” Tiara tersenyum ke arah
ibunya.
“Bagas juga sama? Bukan ingin mengulang kisah lama?”
Kecemasan tampak dari nada ibunya.
“Yah…. Iya lah, Bu….” Tiara tampak ragu menjawab
pertanyaan ibunya.
“Kamu harus pastikan. Jangan-jangan niat kalian
berbeda.” Ibunya bangkit. Nadanya penuh dengan penekanan.
Tiara terdiam. Pikirannya berkecamuk, apakah Bagas
benar-benar tengah berharap? Atau hanya ingin berteman? Apa yang sebenarnya
mereka jalani?
Perasaan yang tenang itu kembali gelisah. Segala
kenangan masa lalu kembali terhampar di ingatannya. Tulisan di hadapannya kini
terasa tidak menarik. Kebahagiaan mereka terakhir, ketika masih bersama, kembali
terbayang.
Gas, apakah hati ini masih
milikmu? Tiara menutup
laptopnya dan memilih untuk mandi.
Seusai mandi, diambilnya album semasa kuliah yang
telah tersimpan rapi di rak bawah tempat tidurnya. Dibukanya secara perlahan.
Foto kenangan itu menghadirkan keceriaan, sama seperti beberapa hari ini.
Hingga akhirnya dia tiba di sebuah foto mereka ketika berada di bukit, foto
terakhir mereka.
![]() |
Dikutip dari haneunurhanifah.wordpress.com |
Ini kenangan terakhir kita,
Gas. Salah paham itu tak pernah terpecahkan. Apakah hati kita masih sama
seperti dahulu? Tiara
masih memandang foto terakhir mereka.
Ketukan halus dan suara berat di ruang tamu
menghentikan lamunannya. Tanpa perlu dilihat, Tiara sudah tahu, itu suara
Bagas. Hampir setiap hari, dia hadir di rumah Tiara.
“Ra…” Bagas menyapa ramah Tiara yang baru saja keluar
dari kamarnya. Tiara hanya tersenyum kecil.
“Kamu kenapa?” Bagas memandangi wajahnya.
“Gak papa, Gas. Kita jadi makan di rooftop?” Tiara mengambil tas selempang
yang biasa ia pakai untuk menulis. Laptop mungil itu tak lupa dibawa serta.
“Aku boleh nulis disana ya.”
“Ya iyalah, kan kita biasa mencari spot buat
berkarya.” Bagas berdiri berhadapan dengan Tiara. “Tapi aku ganti baju dulu ya.
Gak nyaman.”
“Iya, itu kamar mandinya.” Tiara menunjuk ke pintu
yang bersebelahan dengan lemari hias milik ibunya.
Iya, Gas, dulu kita biasa
mencari spot untuk berkarya. Tapi dulu, Gas, Tiara hanya membatin perih.
“Hei, malah melamun. Yuk, berangkat.” Kehadiran Bagas
dari belakang menghentikan lamunannya.
Setelah pamit dengan kedua orangtuanya, mereka pun
pergi ke tempat makan yang dituju. Sebuah meja dengan empat kursi menjadi
pilihan bersama. Suasana terbuka dan sepi menjadi alasan memilih tempat
tersebut.
![]() |
Dikutip dari food.detik.com |
Kini mereka duduk di sebuah meja segiempat dengan
payung di tengah meja. Empat kursi tersusun rapi, masing-masing tersusun dua
buah. Lembutnya angin menyentuh kulit Tiara. Kini mereka bersentuhan langsung
dengan alam. Sesuatu yang dahulu sangat dinikmati.
Tiara memandang wajah kota dari ketinggian, “Indah
banget.”
Bagas tersenyum menatap wanita yang ada di hadapannya.
“Ternyata masih suka mojok.”
“Iya lah….” Tiara tertawa mendengar gumaman Bagas,
yang disambut Bagas dengan tawa.
Dering ponsel menganggu syahdunya mereka dalam
menikmati suasana romantis yang tercipta. Wisnu, nama yang tertera di ponsel
Tiara. Tiara tergagap. Namun, dering itu terhenti.
“Siapa, Ra?” Bagas memandangi wajah wanita yang tengah
ada di hadapannya.
“Wisnu, pacarku.” Tiara menyeruput minuman hangat yang
ada di hadapnnya.
“Kenapa gak dijawab?” Bagas tidak mengubah posisinya
sedikitpun. Tangannya tetap bersidekap di atas meja. Tatapannya tetap tenang.
“Nanti dihubungi aja. Lagian, masih pagi disana. Dia
lagi tugas keluar negeri.” Tiara tersenyum kepada Bagas.
“Pria yang beruntung, Ra. Sejak kapan?”
“Dia atasanku di kantor sekarang. Bahkan, dia
pemiliknya. Aku gak tahu ada apa dengannya, karena selalu menantang dengan
tugas yang bukan ‘aku’ banget. Awalnya sih protes, tapi dia selalu bilang, ‘aku
yakin kamu bisa’. Huft…..awal-awal menjalani tugas yang ada selalu merasa tidak
mampu dan selalu menolak. Tapi dia atasan terbaikku. Gak pernak menerima penolakan.
Dia selalu menyediakan solusi buatku, yaitu teman seperjalanan.” Tiara
memalingkan wajahnya, dipandangnya suasana kota yang tampak meriah dengan
lampu.
“Dia selalu bilang, ‘kamu pasti bisa’. Keyakinan dia
yang merubah aku yang ada di hadapanmu. Kini, aku bisa kesana kemari sendirian.”
Kedua telapak tangannya terbuka, diimbangi dengan senyuman lebar.
“Tampaknya Wisnu paham kemampuan kamu. Bahkan lebih
baik daripada diri kamu, Ra.” Bagas menatapnya lekat. Tiara hanya menaikkan
bahunya sembari menyeruput coklat hangat yang ada di hadapannya.
Mereka terdiam sejenak, ketika pelayan mengantarkan
dua piring nasi goreng sosis. Makanan khas mereka yang menyatukan mereka ketika
masih berada di bangku sekolah.
“Nasi goreng sosis……,” ucap mereka bersamaan, disusul
dengan tawa lepas.
“Masih sama kesukaan kamu,” Bagas bergumam kecil,
namun terdengar oleh Tiara.
“Yah iya lah, kan gak semua harus diubah.” Tiara
menyuapkan nasi goreng, sembari menatap Bagas. “Lalu, kamu bagaimana?”
Bagas menatap Tiara dan tersenyum.
“Gas, itu cincin tunangan ya?” Bagas tersenyum menatap
Tiara. Gadis itu tak pernah berubah, selalu ceplas ceplos.
“Iya, namanya Vania. Kami bertemu ketika aku melukis
di atap kantor. Dia bekerja di perusahaan yang berbeda, tapi masih di gedung
yang sama. Vania memiliki pola hidup yang berbeda denganku. Hidupnya sangat
teratur. Dia adalah seorang gadis yang mengubah hidupku menjadi lebih baik.
Bahkan, dia mengajari aku menyusun target kehidupan.”
Bagas merogoh ke dalam tas ranselnya. Dikeluarkannya
amplop besar berwarna merah, lengkap dengan plastik bening di luarnya membungkus.
Ukiran huruf V dan B terukir di depan
amplop merah tersebut.
“Ini undanganku. Kami akan menikah dua minggu lagi.”
Tiara menghentikan suapannya. Tangan yang siap menyuapkan nasi ke dalam mulut
pun terhenti.
“Kok baru sekarang?” Tiara hampir berteriak dan dengan
sigap menarik undangannya. Dibukanya undangan tersebut dengan perlahan.
“Kamu ya…selalu penuh kejutan. Kenapa sih gak dari
kemarin bilang? Kan aku bisa bantuin kamu? Udah kemana aja? Temen kuliah kita
sudah? Aku masih ada kontak Dito, Gas. Aku bantu nanti.” Hatinya bergejolak,
kini yang ada bahagia campur lega.
“Ra…Ra….Ra…,” Bagas menyentuk jemari Tiara, menahan
gadis itu berceloteh lebih panjang. “Aku menyerahkan semuanya ke wedding organizer. Khusus buat kamu, aku
minta kepada Vania agar aku sendiri yang menyerahkannya.”
“Wah….aku bahagia banget bacanya.” Didekapnya undangan
merah itu, senyuman lebar tak lepas dari wajahnya.
Bagas menyerahkan coklat hangat Tiara, “Minum dulu,
kamu belum minum.”
Tiara tertawa, ketika sadar dia belum minum sejak
melihat undangan Bagas.
“Vania emang
gak cemburu kita jalan begini?” Tiara tersadar akan perjalanannya selama ini.
“Yah gak lah, kan aku sudah minta izin. Wisnu sendiri
bagaimana?” Kali ini Bagas sembari menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
“Yah tahu lah. Tapi yah gitu, nasib LDR, waktu juga
berbeda. Harus sabar.” Tiara kembali menyuapkan nasi yang tak sempat
dimasukkannya ke mulut tadi. “Dia itu punya obsesi sendiri. Sudah hampir
setahun dia disana, bulan depan dia kembali ke Indonesia.”
“Nikahnya kapan?” Bagas sudah tampak santai. Obrolan
pun mengalir.
“Tahun depan katanya. Bagus juga sih, masih ada
daerah-daerah pedalaman yang ingin aku kunjungi.” Tiara tersenyum lebar
membayangkan perjalanannya.
“Dasar kamu tuh, jiwa petualang yang gak bisa
dibendung.”
“Wisnu juga sama loh. Di Amerika saja dia bertualang
dengan teman-temannya.” Tiara mendadak menghentikan suapannya. “Teringatnya,
kenapa dari kemarin kamu gak cerita?”
“Ra, kita itu lama gak ketemu. Pisahnya juga gak enak.
Yah, begitu ketemu, masa langsung ngasi undangan. Dijamin deh kamu gak bakal
datang.”
“Ya ampun, Gas, kemarin aku ke Bukit, disana sempat mikirin
perpisahan kita. Aku malah khawatir kamu belum maafin aku. Nanti, kado
pernikahanku kurang dong.”
“Sialan kamu…” Bagas melemparkan selembar tissue yang
tergeletak di hadapannya.
Suasana riang kembali hadir. Mungkin kisah mereka
telah usai. Rasa berslaah juga telah hilang dari hati. Kini, cinta sebagai
sepasang kekasih telah berganti menjadi cinta sepasang sahabat.
Kereen...
ReplyDeleteTerima kasih, pak, mohon masukannya.....
ReplyDelete