Kompetisi Atau Kolaborasi?
Beberapa
saat yang lalu, salah satu grup di media sosial saya ramai sekali membahas
sikap orangtua terhadap nilai raport anaknya. Mereka menyatakan bahwa sebaiknya
tidak membandingkan hasil belajar anaknya dengan teman-temannya. Saya sepakat
dengan mereka. Karena sejatinya, anak kecil belum mampu memahami konsep ranking.
Bagi
mereka, nilai yang rendah, berarti kalah. Dan nilai yang tinggi, berarti
menang. Karena konsep anak Sekolah Dasar menurut Piaget, masih konkret operasional.
Walaupun sudah mampu menelaah sebab dan akibat, namun mereka masih belum mampu
seratus persen memahami bahwa nilai di sekolah memiliki standart khusus. Sekolah
akan me-rankingnya dari kemampuan mereka dalam bidang ilmu pengetahuan.
Padahal, bisa jadi bakat mereka di bidang seni, seperti menggambar, menari,
menyanyi atau yang lainnya, bukan ilmu pengetahuan.
Semua
konsep kompetisi inilah yang akhirnya berkembang sampai dewasa. Rasa tidak suka
ketika temannya berhasil, atau merasa dirinya harus di atas temannya. Namun,
dilakukan dengan cara yang kurang tepat. Misalnya, tidak membagi informasi atau
pengetahuan yang ada dengan baik. Atau ketika ada tugas, maka dia akan
memberitahu setelah dia punya pemecahannya. Banyak hal lain yang awalnya
terkesan biasa, namun akhirnya menjadi masalah.
Dua bulan
yang lalu, saya pernah berdiskusi dengan seorang teman. Dia menyayangkan
jikalau hal demikian berkembang hingga bangku kuliah. Karena hakikatnya, kuliah
tidak perlu lagi berkompetisi. Kita dapat bertumbuh bersama. Bangku kuliah
tidak ada lagi konsep rangking. Namun, kenyataan terkadang membuat pilu, karena
jiwa kompetisi yang terjadi sangat tinggi. Bahkan sampai ke dunia kerja.
Bukankah ini
wajar? Ya, karena kita dididik menjadikan teman kita sebagai saingan, bukan
teman seperjuangan. JIwa kompetisi ini lah yang menjadikan kita menghalalkan yang
namanya “menjilat”, “cari muka”, “pijak kepala kawan”, dan banyak hal lainnya.
Padahal, dengan cara yang baik pun kita dapat berkompetisi. Selama kita
memperdalam kompetensi kita dalam berkompetisi.
Saya
sendiri merasakan bagaimana kolaborasi itu, ketika saya menapaki jenjang S2.
Kerjasama antar teman begitu terasa. Tidak ada yang merasa lebih diantara yang
lain. Masing-masing saling meguatkan. Bahkan ketika ada yang tertinggal, tidak
segan-segan teman yang lain membantu dan meluangkan waktunya untuk mengajari
yang tertinggal.
Hal ini
juga saya rasakan di Blogger Sumatera Utara, bagaimana mereka membagi ilmu
tanpa ada yang ditutup-tutupi. Kesempatan untuk maju juga dibagi. Kesempatan
belajar juga tinggi. Bahkan setiap kita mendapat peluang yang sama untuk
berkompetisi.
Selain itu,
saya juga merasakan hal ini ketika bertemu dengan mas Syamsul Hatta, pakar NLP
Indonesia, yang tanpa segan-segan membagi ilmunya kepada kami semua. Padahal,
jika dikaji dengan baik, mungkin beliau bisa saja bersantai di hotelnya.
Daripada mengajari kami dan berpanas-panas ria. Namun, beliau tidak pernah
merasa rugi telah membagi ilmunya.
Setuju banget kak... Jiwa kolaborasi harus dilestarikan.
ReplyDeleteTapi aku sih suka berkompetisi. Jujur sangat disayangkan kalau di Sekolah SD sekarang tidak ada lagi rangking. Padahal itu bisa memacu semangat kalau mereka bisa rangking, saya harus bisa. Dan semua itu tergantung sudut pandang masing masing
Setuju banget kak... Jiwa kolaborasi harus dilestarikan.
ReplyDeleteTapi aku sih suka berkompetisi. Jujur sangat disayangkan kalau di Sekolah SD sekarang tidak ada lagi rangking. Padahal itu bisa memacu semangat kalau mereka bisa rangking, saya harus bisa. Dan semua itu tergantung sudut pandang masing masing
saya sepakat mengenai semangat, kompetisi sehat. Tapi konsepnya kadang ada yang salah, bang....membuat jadi rendah diri....
DeleteBikos anak-anak kami school nya gak digedung sekolah, Udah gak pernah lagi ketemu case banding2in rapor anak.
ReplyDeleteHihihi
bagus sih.....jadi mengembangkan kemampuan masing-masing ya, kak....
DeleteKereennnn ah nama blogger sumut di mention terus, yap utk itulah alasan blog sum dibuat.
ReplyDeleteiya, kak....kolaborasi yang berasa.....
DeleteBagi awak memang haram share foto nilai anak.
ReplyDeleteTapi kalo ada yg share begituan, ditanggapi positif.
Mungkin doi kesenangan anaknya juara kelas.
Baiknya sih memang, gak usah share itu, karena kita pun yang pernah jadi anak, ada rasa bosan belajar.. 😂
iya, kak, sebaiknya tidak dishare....
DeleteSetiap anak itu unik.
ReplyDeleteBukan nilai raport yang menjamin kesuksesan anak.😍
kadang ngenes sih, kak....karena terlalu pinter, perusahaan malah takut rekrut
DeleteKayaknya udah bisa d hapus sih sistem rangking. Emang benar kalo sistem ini macu kompetisi antar anak.
ReplyDeleteTapi pengembakan bakat dan moral di usia dini lebih penting mnurut saya.apalagi di usia dini.kemampuan stiap anak kan beda.
Btw bisa jga ni Blooger sumut buat project kolab.
sepakat sih, kak......
Deletekompetisi bisa selama anak paham tujuannya bukan menang kalah
Saya juga setuju, mengenai no ranking
ReplyDeleteiya, kak
DeleteKompetisi dan Kolaborasi sebenarnya dua2 hal yang baik kak. Jika kita bisa bersikap yang benar. Menurut Gacil. Kompetisi itu menantang dan menimbulkan semangat untuk mencapai apapun itu.
ReplyDeletebener....saya juga setuju......asalkan tidak ada kata harus menang mgkn ya?
Deletekompetisi dan kolaborasi itu diperlukan asal diberikan pada jenjang usia yang tepat. klw u/ anak-anak emang gak seharusnya mengenal kompetisi.
ReplyDeletebener, kak.....usia dan pemahaman yang diberikan orangtuanya menentukan....
Deleteyg hrus ditanamkan adlh bgmn berkompetisi dengan sehat,,, krn bg sebgian org juga tdk ada kompetisi,, motivasiny kurang ,, dan satu lg, berkompetisi tujuanny buknlh mncari pemenang ,, bg sy kompetisi hnyalah sbg sebuah motivasi lain untuk meningkatkan kemampuan diri
ReplyDeletesetuju.....setuju....setuju.....
Deletemakasi, kak, buat pembelajaran saya berikutnya.....
Namun masih ada juga orang yang suka berkompetisi secara tdk sehat 😢
ReplyDeletesayangnya iya....hiks.....
Deletesemoga saja ranking itu ditiadakan, cukup dilihat total nilai saja. Contoh kecil, total keseluruhan nilai setelah dibagi rata 85 yo wes itu saja.
ReplyDeletesetidaknya gak perlu ranking-ranking begitu karena dibalik itu kadanag ada usaha curang juga demi rangkin yg belum diketahui.
yap....kebanyakan begitu...itu yang kurang sehat, zik.....
Deletesayang nya di negara berkembang masih mengutamakan nilai dan ini juga yang membuat orang sungkan untuk kolaborasi.
ReplyDeletemudah-mudahan kita mampu belajar untuk tidak takut kompetisi sehat dan kolaborasi ya, bang
DeleteKalau menurutku ranking tetap harus ada agar di akhir pengajaran per semester itu anak-anak tau mengukur kemampuannya dan juga sebagai reward atas mereka yang sudah belajar selama semester tersebut.
ReplyDeleteYang saya kurang setuju adalah, nilai dalam angka diberikan terhadap siswa saat kbm masih berlangsung, misal membubuhi poin angka disetiap latihan dan ujian mereka. Ya ini untuk mengurangi jiwa kompetisi mereka. Tetapi jiwa tersebut juga tidak boleh dihilangkan, tetap harus ada kalau menurut saya. Agar nantinya mereka dapat berusaha bertahan dikondisi yang sulit.
Kebetulan saya pengajar. Jadi setelah saya menganalisis, mengapa orang luar negeri lebih bijaksana dalam mengoreksi dirinya sendiri adalah karena pada saat penilaian yang hasil belajar mereka tidak dapat poin angka tetapi mereka dapat poin kadar kemampuan mereka (kurang, cukup, sedang, baik, dan sangat baik). Nah inilah yang perlu dirubah oleh sistem pendidikan di negara/wilayah kita.
nice share kak.
mompetition,kompetisi antara ibu membanggakan anak2. semenjak punya anak, memang banyak banget yang suka membanding2kan anak. untungnya aku sadar setiap anak itu berbeda, perkembangan anak juga berbeda. mereka akan tumbuh sesuai dengan tahapan dan juga kemampuan masing2. apalagi dalam hal belajar, kalau anak dipaksa menurutku bakal membal semua pelajaran yang masuk, mereka juga punya batasan. mesin aja kalau dipaksa terus beroprasi bakal error dan rusak. apalagi anak2.
ReplyDelete